Pages

Banner 468 x 60px

 

Monday, January 23, 2017

Belanja Murah Perlengkapan Kucing di Timmy Pet Store

0 comments


Segera dibuka layanan pet store online demi kemudahan cats lover dalam berbelanja keperluan untuk si manis. Kunjungi dan berbelanja segera hanya di Timmy Pet Store!

Read more...

Agenda Kegiatan

0 comments

Berikut kami sampaikan beberapa agenda kegiatan yang dapat Anda ikuti :

Read more...

Album Foto

0 comments

Bobo yuuuu
(Foto by: Arjuna Juna)



Begini gayanya kalo dah makan :D
(Foto by: Muslimah Jannah)



Pus lagi bobo siang
(Foto by: Yessi Puspitasari Panto)



Zzzzzz......... MOCI lagi bobo...
(Foto by: Zrtnamrn Zrtnamrn)



Rrrrrrr.... u_u
(Foto by: Muslimah Jannah)



Muezza sang petualang
(Foto by: Rahmadian Sasmy)



Setiap ownernya selesai shalat... #Numpuk
(Foto by: Nurliana Al-Qibthi)


Gayanyaaaaa... wkwkwkw
(Foto by: Ulfhie)

Lomba makan akar. Hehehe
(Foto by: Ulfhie)

Kasih ibu sepanjang tidur.... zzzzz
(Foto by: Ulfhie)

Ada kamera. Ngumpet....
(Foto by: Febrianty Thalib)


Hmmmmmm love love
(Foto by: Ukhty Widuri)




Duo model cuantikkk
(Foto by: Muslimah Jannah)
  
Read more...

Daftar Kegiatan Pecinta Kucing

0 comments
Berikut warga gang kucing bagi-bagi info kegiatan. Check it out

Read more...

Abang Sayang #4 (Selesai)

1 comments
Cuplikan episode sebelumnya:

Hufff

Kulempar begitu saja sampahnya ke dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat keluar. Wih, kaget. Dan saat itu juga memori di kepalaku segera mengingat sesuatu.

“Iya, Al. Biasanya diem di dekat TPS itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama Burik. Gak bisa cari betina yang agak manis dikit napa.”
Suara Bunda Yhatie beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya, ini pasti yang namanya Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini berdiri terpaku menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan kembali menatapku lagi.

“Sini, empush… push, push.” Aku berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti memanggil ayam.

Dengan ragu, Burik mendekat, mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di sana. Burik memang kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran manjanya ketika kuelus kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.

“Hoho, pantas saja Si Abang suka sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus terus bulu-bulu abu Burik yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat terlintas di benakku untuk membawa Burik ke rumah, memeliharanya di rumah, namun ide itu segera kuhapus ketika mengingat betapa Mama tidak akan setuju tentang itu. Dengan berat hati, kutinggalkan Burik yang masih terbengong menatapku, sedikit kecewa karena aku berhenti mangelusnya dan terus berlalu tanpa kembali menoleh padanya.

*****

Haaaah, liburan begini enaknya genjrang-genjreng di kamar, pasang sound system super nge-bass. Yeah! Buang sampah udah kelar. Oiya, mau mampir dulu ke rumah Mama Okta, penasaran sama tanaman-tanaman tadi, eh, apa namanya? Hoho, gini-gini juga aku sempat tertarik masuk fakultas pertanian, lho,  tapi entah, malah nyasar ke jurnalistik.

Bersamaan langkahku yang luar biasa penuh semangat, tiba-tiba seorang pemuda jangkung berkaca-mata memanggilku. Aku menengok.

“Permisi! Eh, numpang tanya!” Katanya dengan logat jawa kental, kemudian tergesa-gesa menghampiriku seraya melepas sebelah alat dengar yang menyumbat telinganya. Senyum ramahnya segera kusambut.

“Ya. Kenapa, Mas?” Aku menatapnya lekat.

“Ini,” segera dirogohnya selembar kertas dari dalam saku celananya, kemudian disodorkan padaku, “Maaf, tau alamat ini, ndak?”

Aku beralih, memeriksa alamat yang tertulis di kertas itu. Sejurus kemudian, mulutku membulat lebar. “Oooo… Aku tau, ayok aku tunjukkin.” Kataku memberi isyarat supaya dia mengikuti.

“Oh? Baik.” Air mukanya tampak sumringah.

Ah, jalanan masih sepi. Mas Ari and the gank belum penampakan di posko depan gang. Biasanya suka kumpul-kumpul begitu. Ngakunya sih rapat, gak tau rapat apaan di posko. Hehe, perasaan sering banget acara rapatnya tu orang, Hihi.

Satu dua kulewati rumah warga. Jadi teringat Mpok May, sudah lama pulang kampung, sampe gini hari belom balik juga, padahal aku dan Ratih hobi banget mangkal di teras rumahnya. Huhu, jadi kangen. Kata Mba Fitri yang tinggal di dekat kostan Bu Haji Salamah sono, Mpok May perginya subuh-subuh gitu, sih, jadi gak sempet pamitan ke semua tetangga, cuman waktu itu kebetulan aja suaminya Mbak Fitri udah petantang petenteng di halaman, ketemu dulu deh sama Mpok May.

“Al! Mao kemana lagii??” Et, dah, suara Ratih lagi. Aku celingukan.

“Ke rumah, lah. Kan baru buang sampah. Entar siang ditunggu, yak.”
Ratih mengangguk dari balkon rumahnya, kemudian melirik penuh tanda tanya pada sosok di belakangku.

“Ouh!” Haha, aku baru inget ada orang di belakangku sejak tadi.

“Mas ini tamunya Mama Okta! Haha.” Aku cekikikan, memberitahu asal-usul pemuda yang baru beberapa menit tadi bersamaku. Ngelamun kemana-mana sampai lupa sesuatu. Wkwkwk

Mas-mas di belakangku tersenyum dan mengangguk ke arah Ratih. Dia mulai mesem-mesem begitu, ah, aku tebak seandainya gak ada orang di sini udah pasti dia ngakak, atau seandainya dia udah akrab banget sama aku paling-paling kepalaku sudah jadi sasaran empuk jurus jitaknya. Tapi syukurlah, kejadiannya gak sampe begitu.

Ratih balas tersenyum. Jaim. Hehe.

“Udah, ah. Cus dulu nih.”

“Oke.”

Tak lama, kami sampai di depan pagar rumah mama Okta. Kulihat seseorang di halaman.

“Misi, Om. Ada tamu, nih!” Seruku.

*****

Bang Safri sudah kembali mendorong gerobak sayurnya. Itu artinya para ibu sudah kembali ke habitatnya masing-masing, kegiatan rumpi sudah berakhir. Hehe, memang begitu kegiatan ibu-ibu, gak cuman di filem-filem aja, yang namanya acara beli sayuran sudah pasti kagak rame kalo tanpa bumbu berupa obrolan seputar kehidupan rumah tangga. Dari mulai suami, anak, cucu, cicit, tetangga samping kiri, tetangga samping kanan, depan, belakang, semua kesebut. Lha, anehnya di sini: sampai berita kelahiran kucing aje sampe jadi hot news. Haha, di mana lagi keunikan ini terjadinya kalo bukan  di Gang Kucing.

“Abaang!!” Nah, kalo yang ini pasti teriakan khas milik Bunda Yhatie. Aku merandeg.

“Kabur lagi dia!”

Aku berdiri, melihat sedikit keributan dari balik pintu pagar Bunda Yhatie. Rupanya Abang menyelinap kabur saat pintu rumahnya terbuka. Lantas sosok berbulu abu itu melarikan diri, hampir bertabrakan denganku.

“Kemana dia perginya, Al?” Bunda Yhatie melihat padaku, wajahnya terlihat agak kesal, dipandanginya semak-semak di samping rumah.

“Ke sana, Bunda.” Telunjukku segera memberi tahu ke mana arahnya Si Abang pergi. Ke luar gang. Barangkali menuju ke TPS di depan sana. Ketemuan sama pacarnya, Si Burik. Trus entar mereka nangis-nangis Bombay gitu kayak di filem Rano Karno. Lho?

Bunda Yhatie hanya geleng-geleng melihat aksi kucing semata wayangnya itu.

“Tadi pacarnya Si Abang ada tuh di TPS. Hehehe.”

“Si Burik?”

“Iya, Bun.”

“Ckckck.”

“Kasian, Bun. Biarin aja…” Usulku membuat Bunda Yhatie tertegun lalu menarik napas berat.

Aku segera pamit dan berlalu. Rencana teriak-teriak sambil bunyiin musik keras-keras harus segera terealisasi.

*****

Betul sekali dugaan Bunda Yhatie. Abang tidak pernah mau pulang setelah aksi pelariannya kemarin. Sampai akhirnya pada suatu sore, Si Abang nongol juga di teras, bawa pacarnya juga, gak cuma Burik yang nangkring di situ, masih ada satu betina lagi. Total semuanya bertiga. Nah, terus… yang ngedeprok di atas pagar tembok itu masih pacarnya juga? Ah, iya berarti lagi berempat... Eh, tapi… diam-diam ada sepasang mata betina memperhatikan dari luar pagar.

Duh, duh… Si Abang…


Selesai
Read more...

Abang Sayang #3

0 comments
Siapa, sih, yang bisa tahan menanggung rindu? Gak ada… Efeknya, kalo gak sakit, ya mati, hahaha, eit jangan protes dulu…, ada orang bilang begini: “Berat hati ini menanggung rindu, rindu yang kian lama hendak membunuhku, membunuhku dalam kerinduan, kerinduan yang membunuhku. Mati dalam kerinduan” Uyeeeee, segitunya, hehe. Tapi bener, lho, yang namanya rindu memang susah diobati. Kalo kondisinya tambah parah, bisa-bisa harus segera berurusan dengan psikiater terdekat di kota Anda, hihihi. Tinggal tunggu hasil diagnosisnya dan silakan dibaca resepnya. Paling dikasih obat penenang dosis tinggi, hehehe.

Ehm, cinta terlarang karena status sosial, yah, akhirnya jadi begini ini, muruuuung terus, males makan, susah tidur, dunia seakan tak berwarna, hambar. Lagi ngomongin siapa, sih? Aku? Hehe, bukan…, tapi ini lho kucing punya tetangga, depan rumah. Gkgkgk.

Si Abang namanya, kucing kesayangan Bunda Yhatie. Cinta Abang diduga akan segera kandas sebelum mekar dan bersemi melewati musim hujan ini. Uhuk (keselek, dah). Cintanya pada Burik, kucing liar tak bertuan dari kampung sebelah itu tak direstui Bunda Yhatie. Seharian ini Abang mengalami hal terburuk yang paling dibencinya – Abang tak lagi bebas berkeliaran di jalanan, Abang dikurung di rumah. Abang tak dapat lagi membuat kerusuhan di atap rumah tetangga, tak lagi membuat kerepotan pengendara jalanan akibat menyebrang sembarangan atau tawuran yang beresiko kemacetan di sepanjang Gang Kucing seperti hari-hari sebelumnya. Waduh, kelewat dramatis nih, hehe.

*****
Abang benar-benar kesunyian… Abang sedang menderita, menderita menanggung rindu, rindu pada Burik, kucing liar dari kampung sebelah.

“Biasanya genting rumah saya bocor setiap seminggu tiga kali!”

“Nah, saya kemarin hampir nabrak pohon, banting setir waktu liat kucing-kucing nyebrang di jalan sana, waktu itu Si Abang yang lagi kejar-kejaran.”

“Aduh ibu-ibu, Si Abang emang ude wataknya begitu dari orok, bikin heboh terus.” Jelas Bunda Yhatie dengan cueknya di sela protes ibu-ibu penghuni Gang Kucing. Bang Safri, tukang sayur keliling yang kini dikerubuti ibu-ibu dari Gang Kucing itu cuma mesem-mesem sambil melayani para pelanggannya. Aku memperhatikan dari kursi teras, sesekali melongok ke dalam, Mama belum juga muncul.

Tak berapa lama, Mama ke luar, menenteng dua keresek sampah dari dapur. Aku tergopoh membantu membawakan sampah-sampah itu untuk dibuang ke TPS.

“Ee, Bu Ani… Sini gabung, Bu.” Sapa Bunda Yhatie ketika melihat Mama menghampiri.

Aku melengang, menuju tempat pembuangan sampah di seberang Gang Kucing. Sepagi ini hampir semua pekarangan warga sudah tampil bersih, enak dipandang. Ada satu tanaman yang membuatku berhenti ketika melewati pekarangan rumah Mama Okta. Ada pohon cabe yang warna buahnya beragam warna. Sejenak aku melihatnya lebih dekat.

“Mau ke mana pagi-pagi, Al?” Sebuah suara mengejutkanku.

“Ini mau buang sampah, Ma.” Kulihat Mama Okta di pintu samping. “Tapi mau liat dulu ini nih, unik ya, Ma, pohon cabenya.” Aku menunjuk pohon cabe yang berjejer cantik di dalam polybag.

“Oh, itu. Sini masuk dulu, ngobrolnya di dalam. Mama Okta melambai padaku yang masih berdiri di balik pagar rumahnya.

Aku kembali meneruskan perjalanan setelah pamit dan berjaji akan mampir setelah kembali dari TPS.

Bisa dipastikan, warga sini memang telaten mengurus segala sesuatu termasuk tanaman. Pohon-pohon rindang yang berdiri di sepanjang jalan dengan jarak 6 meter antara pohon satu dengan pohon lainnya memang sudah menjadi bagian dari perencanaan tata kota sebelumnya, eh tata gang mungkin hehe. Sebagian besar cabang-cabang pohon berdaun lebat yang menaungi pejalan kaki di sepanjang jalan gang ini hampir mirip boulevard, hanya saja warga harus lebih rajin bekerja bakti membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan di sekitarnya. Aku semakin menyukai keunikan Gang Kucing beserta seluruh isinya dibanding dengan tempat tinggalku sebelumnya.

“Al!” Seseorang memanggilku, aku celingukan mencari si pemilik suara dan akhirnya kutemukan sosok Ratih dari balkon rumahnya, masih lengkap dengan alat pel di tangan. Blacky, Ullie, Ndundut, dan kucing-kucing peliharaan lainnya kulihat mondar-mandir tak jauh dari situ.

“Hei!” Sahutku.

“Mau ke mana?” Tanya Ratih setengah berteriak.

“Buang sampah ke depan.” Jawabku seraya mengangkat tinggi dua keresek sampah di tanganku.

“Nanti siang ada di rumah, gak?” Tanya Ratih lagi, lengannya bertumpu ke besi pembatas balkon.

Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat sesuatu, kemudian menggelengkan kepala. “Gak ada, ke rumah aja, OK!”

“Sip.” Ratih mengacungkan jempol ke arahku.

Semenjak kami tinggal di satu gang, aku dan Ratih lebih akrab karena di sekitar sini hanya aku dan Ratih yang terbilang masih seusia dari kalangan cewek, yang lainnya cowok-cowok dari kostan Bu Haji Salamah, kebanyakan memang seusiaku, mereka juga – sebagian – masih mahasiswa seangkatan dari fakultas pendidikan dan kedokteran, kami tidak terlalu dekat, hanya jika ada acara yang diselenggarakan oleh para pengurus Gang Kucing saja kami biasa kumpul, selain itu jarang banget. Oh iya, kudengar ada salah satu penghuni kontrakan Bu Haji Salamah yang sedang menempuh pendidikan di kedokteran hewan. Kata Mas Ari, dia masih anaknya kenalan Om Yudith, yang dulu pernah aku ceritakan punya petshop dan observator kucing di gang ini.

*****
Hufff

Kulempar begitu saja sampahnya ke dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat keluar. Wih, kaget. Dan saat itu juga memori di kepalaku segera mengingat sesuatu.

“Iya, Al. Biasanya diem di dekat TPS itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama Burik. Gak bisa cari betina yang agak manis dikit napa.”
Suara Bunda Yhatie beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya, ini pasti yang namanya Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini berdiri terpaku menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan kembali menatapku lagi.

“Sini, empush… push, push.” Aku berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti memanggil ayam.

Dengan ragu, Burik mendekat, mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di sana. Burik memang kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran manjanya ketika kuelus kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.

“Hoho, pantas saja Si Abang suka sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus terus bulu-bulu abu Burik yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat terlintas di benakku untuk membawa Burik ke rumah, memeliharanya di rumah, namun ide itu segera kuhapus ketika mengingat betapa Mama tidak akan setuju tentang itu. Dengan berat hati, kutinggalkan Burik yang masih terbengong menatapku, sedikit kecewa karena aku berhenti mangelusnya dan terus berlalu tanpa kembali menoleh padanya.

Bersambung....

Bunda Yhatie Suryo Lukman, Mama Okta Leni, Ari Saputra, Ratih Nur Aini, ikut berperan lagi di cerita ini hehe
Read more...

Abang Sayang #2

0 comments
“Kapan-kapan lu kudu maen ke kandang ane, Bro.”

Venti mangguk-mangguk. “Apa tadi namanya? Gang Kucing?”

“Yup.”

“Hmmm.” Venti mencoba mencatat nama Gang Kucing di ingatan.

“Gue cus dulu, Ven, takut keburu ujan, nih.” Kataku sambil menuntun scoopy ke pelataran luas dekat area parkir.

Venti melambaikan tangannya padaku sambil berteriak, “Ati-ati di jalannn… Perasaan gue lagi kagak enak!”

“Iye, Nyak!” Balasku, ngakak.

Scoopy manisku segera meluncur, deras menerobos hiruk-pikuk pengendara ibu kota.

*****
Langit sore bermuram-durja, berkaca di genangan air hujan. Udara dingin seakan berebut masuk ke dalam tulang.

Baru saja tiba di muka Gang, mataku segera menangkap sosok berbulu sedang bersidekap di pos ronda – sebetulnya pos itu lebih sering dibuat camp tempat kumpul-kumpul pemuda kostan Bu Haji Salamah daripada digunakan sesuai fungsi yang seharusnya.

Jreng!

Tampak tiga pemuda seusiaku genjrang-genjreng tak karuan. Segera kuhentikan motorku untuk sekedar memastikan apa yang baru saja kulihat. Seekor kucing berbulu abu dan tiga pemuda tongkrongan penghuni Gang Kucing yang sama-sama sedang galau. Hehe.

“Oyy, biar musim lagi berrr kayak gini tapi posko tetep rame yah, cakep toh.” Seruku.

“Yo-i, sini gabung, Al.” Mas Ari melambai padaku.

“Iye, sini gabung, ngopi-ngopi sini.” Sambung Mas Kohar, disambut anggukan mas-mas yang satu lagi, dia pendatang baru di kostan Bu Haji Salamah.

“Ogah, ah, capek. Lain kali aja deh, yak.” Kataku bersiap melaju kembali.

“Haha, oke lah.” Sahut Mas Ari, kemudian memberi isyarat supaya musik diperdengarkan lagi.

Aku melengang, menyusuri Gang Kucing yang sedari pagi disiram air hujan. Kulambatkan laju motorku. Tinggal dua rumah lagi, nyampe dah.

*****
Baru saja kuparkir motor di halaman, sebuah suara segera menghentikan langkahku sebelum masuk rumah.

“Abang…! Ke mana lagi tuh kucing??”

Kutengok asal suaranya. Kulihat Bunda Yhatie sedang mencari sesuatu dari balik pagar rumahnya. Rumah kami memang berseberangan, hanya pintu pagar rumah kami saja yang tidak pas berhadapan.

Tampaknya Bunda Yhatie sedang mencari kucingnya. Genting-genting rumah sekitar tak luput dari perhatiannya. Tapi apa yang dicarinya masih belum menampakkan diri.

“Hehe.” Aku terkekeh memperhatikannya.

Si Abang, kucing berbulu abu kesayangan Bunda Yhatie memang kabarnya lagi kurang betah di rumah. Banyak sekali ulahnya Si Abang, mulai aksi tawuran sampai aksi kabur dari rumah. Hm, hmmm, ada-ada saja.

“Si Abang lagi nongkrong di pos ronda, Bun!” Seruku, melongokkan kepala.

Bunda Yhatie berhenti, melihat ke arahku seolah minta aku mengulang lagi. Aku senyum-senyum saja sebelum akhirnya buru-buru berbalik menuju pintu.

Bersambung....

(Thanks buat Mama Okta Leni yang udah ngingetin soal lanjutan cerita 'Gang Kucing' hehe untuk judul 'Abang Sayang' ini kayak x bakalan panjaaaangg bingit wkwkwk, ouh iya, Mba Venti Yunita pinjem namanya nih, gpp? hehe. Bro Ari Saputra disenggol dikit nih di pos ronda depan Gang Kucing xixixi)

*****
Read more...

Abang Sayang #1

0 comments
– Minggu mendung –

Tidak seperti biasanya. Gang Kucing tampak lengang. Gemericik hujan dan cuaca dingin akhir-akhir ini cukup ekstrim. Warga ogah sekali penampakan di luar rumah. Aktivitas keluar sebisa mungkin dibatasi, seperlunya saja.

Supaya omset tetep normal, Bang Ainu dan kawan-kawan pengelola kafe di ujung gang itu sampe nerima pesanan antar alias delivery order untuk pelanggan setia kafenya. Tinggal pesan lewat SMS, lima menit kemudian, “Spadaaaaa….” Pesanan tiba. Dan yang lebih asiknya, pembayaran di atas seratus ribu bisa ditransfer via rekening online. Walhasil, kafe bang Ainu malah tambah laris saja.

“Oke, oke, agak siangan dikit. Aku belom mandi, nih, hehe.”

“Yasud, ditunggu bingit.”

“Sipppp.”

“Awas lo telat.”

“Okkkeeee…”

Tut tut tut. Sambungan terputus. Buru-buru kuhabiskan bubur ayam spesial pesananku kemudian segera ke kamar mandi.

Belum sampai satu menit, aku sudah keluar lagi.

“Hih, dinginnnn.”

Celingukan. Airnya memang dingin banget, tapi gak mungkin kalo kagak mandi.

“Pake aer anget sana.” Mama kurang setuju kalau anaknya keluyuran sebelum mandi.

“Kayak Si Ucil aja, Ma, mandi pake aer anget.” Protesku, tapi akhirnya ke dapur juga, masak air.

*****

Tadaaaa… Jaket bulu, sepatu kets, kerudung kaus, jeans gombrong, rasanya sudah lengkap menahan cuaca dingin di luar sana.

Langit begitu sunyi. Scoopy kesayanganku meluncur mulus menyusuri Gang Kucing. Pukul sepuluh aku harus sudah sampai di acara pagelaran sastra. Ada puisi yang harus kubaca. Telat sedikit, panitia pasti heboh.

“Lima belas menit lagi.” Bisikku, sekilas kulirik arloji di pergelangan.

Akibat lirik-lirikan begitu, hampir saja aku menabrak sesuatu. Motor scoopy-ku berdecit. Beberapa kucing melintas di depanku.

“Abaaaaang!” Satu teriakan membuatku menengok ke arah suara. Bunda Yathie tampak berdiri di balik pagar.

“Hadeh, hampir ketabrak. Tawuran lagi ya, Bun.”

“Iya, duh, Si Abang emang doyan banget tawuran. Kemana lagi dia?” Bunda Yathie berjinjit-jinjit melihat ke arah larinya Si Abang, kucing kesayangannya itu.

Aku geleng-geleng.

*****
Bersambung….
Read more...

Gang Kucing Bag.2

0 comments
Apalah Arti Sebuah Nama

Gang Kucing memang berbeda dari gang-gang lainnya di kawasan Kampung Asri yang kebanyakan dinamai dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Gang Otista (singkatan dari Otto Iskandar Dinata), Gang  Dewi Sartika, Gang Abdul Muis, Gang Surjopranoto, de el el.

Pernah, nama Gang Kucing bermaksud diganti oleh pihak RW dengan alasan penyeragaman tema. Namanya harus diambil dari nama pahlawan nasional juga. Begini cerita selengkapnya.

“Ciyeee, sampe segitunya nih, Pak Erwe.” Ledek salah seorang warga ketika membaca surat undangan pertemuan terkait rencana perubahan nama untuk Gang Kucing.

Besoknya, seluruh kepala keluarga sama-sama hadir di ruang pertemuan. Pembicaraan terkesan alot.

“Apalah arti sebuah nama, Pak Erwe. Kita sudah cukup familiar dengan nama Gang Kucing, tak usah lah diganti.” Pak Gus mengajukan usul penolakan. Nada baritonnya menggema di seisi balai pertemuan. Hadirin yang turut hadir membuat isyarat persetujuan dengan tepuk tangan meriah, sesekali ada suitan dari tempat duduk paling belakang. Ruangan bergemuruh seru. Pak Erwe duduk menekuk pundak seraya mengelus janggut yang sudah sebagian memutih. Diliriknya ketiga orang di samping kiri dan kanannya. Pak Roy, selaku sekretaris, hanya terdiam menunggu keputusan tetua. 

Beberapa saat kemudian, rapat ditutup, hadirin dipersilakan bubar.

“Saya juga kurang setuju, Pak. Nama gang kucing, kan, lebih berkarakter, punya filosofi tersendiri dibandingkan dengan gang lain.” Ujar seorang pemuda jangkung saat meninggalkan balai pertemuan.
Bapak yang sedari tadi diajak berbicara turut menimpali, “Seharusnya begitu.”

“Seandainya mau diseragamkan dengan gang lain, lebih baik gang lain saja yang diganti dengan nama-nama hewan, misalnya: gang monyet, gang tikus, gang…”

“Gang guk-guk.” Seseorang berseloroh di tengah ramainya pembicaraan. Serempak menoleh lalu protes, “Jangan pake nama yang itu!”

“Hehe.” Mas Ari cengar-cengir.

“Sudahlah, mudah-mudahan Pak Erwe mau memikirkan kembali suara hati kita. Semoga Gang Kucing tidak akan pernah diganti dengan nama Ahmad Yani.”

“Amiin….” Koor, bapak-bapak mengamini ucapan Om Shion.

Aku dan Ratih yang kebetulan sedang mampir ke rumah Mpok May siang itu tanpa sengaja mendengarkan semua pembicaraan bapak-bapak yang baru pulang dari acara pertemuan warga.

“Jadi betul, ya, gang ini mau diganti nama?” Ratih melirik padaku.

“Katanya, sih, begitu.”

“Memangnya mau diganti sama apa, Mpok?” Ratih beralih menatap Mpok May yang sedang siap-siap menyiram bunga-bunga di pot halaman rumahnya. Aku tetap menyimak sambil melihat-lihat majalah.

“Katanya mau diganti sama nama Pahlawan.”

“Oh? Kayak Superman begitu, Mpok?” Tebak Ratih. Aku ngakak.

“Gang Superman? Mana pantes, lha.” Mpok May geleng-geleng tak setuju.

“Misalnya…” Ralat Ratih, tersipu.

“Pake nama pahlawan lokal aja, misalnya Pitung.” Usulku asal.

“Jaka Tingkir.”

“Nggak, bagusan Jaka Gledek.” Kataku lagi ikutan ngaco, memangnya Jaka Tingkir sama Jaka Gledek masuk kategori pahlawan gitu? Wkwkwk.

“Udah sono, sampaikan langsung ke Pak Erwe.” Seru Mpok May sambil mengangkat ember ke dekat pot. Aku dan Ratih saling pandang. “Hehe…” Ide bagus, pikirku. Tiba-tiba Mpok May terpekik kaget. Gayung berisi air cepat ditariknya dari sasaran penyiraman.

“Ya, ampun!”

“Kenapa, Mpok?” Spontan, Ratih melompat dari kursi, takut terjadi apa-apa.
Mpok May menuding ke arah pot. Seekor anak kucing sedang tertidur pulas di dalam pot.

“Hahaha.”

“Pindahin, Mpok, nanti kesiram.” Ratih terkekeh geli.

“Hadeh, gak usah, biarin aja, gak jadi disiram aja deh, hehe.” Hampir saja Si Uwang, kucing kecil piaraan Mpok May itu, kena serangan air dari gayung, hihihi. Acara siram tanaman sedikit terganggu dengan ditemukannya Uwang di pot tanaman. Ceritanya Uwang lagi ngadem, hehehe.

“Zzzzzzzz…”

Udara siang itu tambah sangar, panasnya nampol. Buku-buku majalah di meja depan rumah Mpok May sudah beralih fungsi menjadi kipas. Debu jalanan memilih pagar-pagar halaman dan pohon-pohon di depan rumah warga untuk bersembunyi dari angin yang terus mengajak bermain.

Namun, udara semacam itu tidak jadi masalah untuk sebagian warga yang senang berkumpul, terutama di Kafe Bang Ainu. Akibat udara yang panas, ditambah obrolan seputar rapat warga hari itu yang gak ada matinya, aneka Jus Bang Ainu laris seketika.

*****
Ah, besoknya warga senang sekali. Ada kabar gembira. Sekretaris RW menyampaikan keputusan Ketua RW melalui pertemuan tertutup dengan pejabat RT setempat bahwa Gang Kucing tidak jadi diganti dengan nama Ahmad Yani.

“Alhamdulillah…” Warga yang mendengar berita itu segera mengucap syukur.

Gang Kucing J

*****
Read more...

Gang Kucing Bag.1

0 comments
Selamat datang di Kampung Asri, Kecamatan Warna-warni. Anda akan memasuki kawasan ramah lingkungan bebas polusi. ”GANG KUCING”.
Begitu isi tulisan yang terpampang jelas di samping gapura yang menghubungkan arah jalan ke rumah baru kami.

Baik, mari kita masuk. Jalan masuk ke gang ini terbilang lebar, tiga gerobak bubur Pak Naryo saja masih muat meluncur ke pedalaman empatratus meter hingga menerobos keluar dari gang Kucing. Gang yang hanya dihuni oleh 18 keluarga ini memang unik, sebagian besar penghuninya memiliki hobi memelihara kucing! Hah, kok bisa? Yah, menurut sejarah yang sempat kami dengar dari kabar tetangga, sih, begitu.

"Iya, Al, makanya gang ini dikasih nama Gang Kucing." Jelas Mama Okta, tetangga baruku yang juga memelihara beberapa kucing ras. Salah satu kucingnya yang diberi nama Ucil sudah cukup ngetop di wilayah sini. Kebiasaan anehnya tidur di bawah karpet di dalam kandang itu membuat Ucil sering jadi bahan obrolan ibu-ibu di kegiatan PKK. Tau singkatan apa PKK? Pameran dan Kompetisi Kucing. Ya, ada-ada saja nama kegiatan di sini. Dengan diadakannya kegiatan ini, seluruh pemilik kucing jadi termotivasi untuk merawat kucingnya sebaik mungkin. Mulai dari Lomba kucing sehat, kontes 'miauw' paling cempreng, lomba loncat tertinggi, lomba makan cuek, dan masih banyak lagi lomba lainnya yang diadakan setiap satu bulan sekali. Semua warga turut mendukung, para kepala keluarga yang tergolong pasif karena kesibukan kerja pun tidak pernah melewatkan acara PKK yang biasa diselenggarakan di area lapang dekat balai pertemuan warga. Para panitia biasanya diambil dari pemuda-pemudi yang baru duduk di bangku SMA juga perkuliahan. Aku pernah ditawari untuk gabung. Lumayan, untuk ajang perkenalan. Aku tak keberatan.

****
Bermula dari satu keluarga yang menempati rumah di barisan keempat sebelah kiri jalan ini, kita sudah bisa membaca sebuah spanduk melintang di atas jalan yang bertuliskan : MINAT ADOPSI KUCING PERSIA? Hub: 0213-4444555 (Yudith). Tak aneh, setiap rumah punya satu kucing hias untuk bermacam alasan pemeliharaan, ada yang memang suka kucing jenis ini, ada yang niat rawat saja, tapi ada juga yang memelihara untuk teman bermain anak-anak. Setahuku, bisnis pemeliharaan kucing ini sudah berjalan semenjak Om Yudith masih tinggal di Bandung. Berkat iklan yang juga dipasang di internet, beberapa kucing bisa dikirim ke luar kota, sesuai lokasi pengadopsian. Rumahnya yang memiliki teras yang luas itu sudah tentu jadi semacam lahan pameran kucing setiap paginya. Banyak macam jenisnya di dalam kandang-kandang teralis, aku sendiri kurang begitu tau. Terkadang Om Yudith mempromosikan ras kucing terbarunya melalui SMS ke para tetangga dan kenalan:

Kucing Persia Jantan Remaja Pedigree ICA

- DOB 13/07/2014
- Warna Red Tabby Blotched
- Champion bloodline
- Vaksin lengkap + Microchip
- Kucing sehat dan terawat
- Bulu tebal, mata bulat dan open                                                                                    
- Flatnose (PET QUALITY)

Aku, sih, memang suka kucing, tapi mengingat kesibukan aktivitasku di luar, jadi tidak mungkin ikut-ikutan mengurus kucing seperti yang dilakukan Mpok May, Mama Okta, Bunda Yathie, Tante Shinta, Mbak Fitri, Mbak Martha, Om Dode, Bunda Ina, dan kawan-kawan. Perawatannya, kan, harus telaten, harus sepenuh hati biar kucingnya sehat-sehat gitu.

Salah-salah mengurus, kucing bisa mati atau penyakitan.Dan akibat kelalaian lupa memasukkan kembali kucingnya ke kandang setelah diajak bermain, tidak jarang seekor kucing ras tampak keluyuran di jalanan. Kalau sudah kejadian begitu, ibu-ibu di Gang Kucing mulai melancarkan aksi pengepungan. Kucing siapapun yang terjerat kasus pelarian akan dikenakan hukuman penggembokan selama beberapa hari hingga dipastikan mengalami efek jera.

Begitulah, dua bulan tinggal di Gang Kucing, aku sudah mulai mengenal kondisi lingkungan dan sebagian besar penghuninya.

"Hoaahhhmmm..."


Malam sudah semakin larut, banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Tapi biar diteruskan besok saja, OK. Good night....*****
Read more...

Serial : GANG KUCING

0 comments
Mempersembahkan. Satu karya tulis berjudul 'Gang Kucing' yang didalamnya mengangkat nama-nama anggota KOMUNITAS PECINTA KUCING beserta kucing kesayangannya yang mudah-mudahan bisa dijadikan bahan untuk pembuatan Novel di lain kesempatan. So, selamat membaca...

Daftar Isi :
- Gang Kucing Bag.1
- Gang Kucing Bag.2
- Gang Kucing Bag.3 : ABANG SAYANG
   - Abang Sayang #1
   - Abang Sayang #2
   - Abang Sayang #3
   - Abang Sayang #4

Read more...

Poo Oh Poo

0 comments
Mari sedikit bercerita. Ini bukan tentang Timy dan Pak Kumis yang sampai saat ini belum punya gebetan. Ini tentang 'Poo', kucing gondrong punya tetangga jauh, beda RW, beda RT.

- Poo Oh Poo -

Selaku kucing yang 'baru dinobatkan sebagai bagian dari warga RW 01, Poo cukup jadi pusat perhatian. Di usianya yang tergolong dewasa, Poo cukup menarik, aku sebut saja 'Poo si Kucing 3G': Ganteng, Gendut, dan bikin Gerrrrr cewek-cewek (baik cewek dari golongan kucing, maupun manusia). hehehe

Awal kedatangannya cukup bikin heboh para tetangga, gimana nggak? Poo, jenis kucing langka, kata yang empunya, sih, Poo Si Kucing 3G ini dikirim langsung dari Australia!! WOW, kan? Gila, man... Kasian kucing-kucing sini kalo mau kenalan sama si Poo, ya, musti pake bahasa Inggris gitu deh, heuheuyyy...

Anyway... Hari demi hari, Poo jadi idola gadis-gadis kecil di sana. Kebetulan, keluarga angkat Poo ini memang pemilik tempat pengajian rutin khusus anak, jadi... ya, bisa dibayangkan, tiap jadwal pengajian, 'Poo' dikerubuti anak-anak, rebutan gendong. Poo mirip piala bergilir.

*****


Bulu lebat berwarna abu, mata berwarna biru terang, ekor mirip kipas-kipas zaman raja Mesir. hehehe... "lutunaaaaa....," begitu kata anak-anak pengajian.

Poo, ya, awalnya seneng aja karena banyak fans. Tapi lama-lama... Anak guru ngaji curhat ke aku.

"Sekarang sensi banget kalo dipegang.... Iiiiiii aneh deh, udah dua kali tuh kabur sampe warung depan sana." terangnya. Aku mangguk-mangguk. Kesimpulannya: mungkin Poo lagi galau.

"Gak dikandangin?" tanyaku, mudah-mudahan ini bisa jadi saran ampuh menghentikan kebiasaan baru Poo kabur dari rumah.

"Biasanya juga nggak pernah dikurung-kurung di kandang, dia kucing manis, gak banyak tingkah."

"Hmmm..."

*****


Awalnya memang bikin uring-uringan, tapi setelah Poo selalu pulang dari acara kaburnya, sang majikan jadi terbiasa, udah gak kuatir lagi. Akhirnya, Poo dipersilakan mengikuti jejak-jejak kebiasaan kucing kampung pada umumnya: Keluyuran sesuka hati.
Hal itu sudah berjalan selama beberapa bulan yang lalu.

*****


"Gila tu orang! Ane yakin ntu semua anaknya Si Poo!"

"Sabar, bro...," Aku menenangkan. Poo dikabarkan punya anak dari kucingnya Bu Lela. Hadeh... Pembaca dilarang cemburu, hehe.

"Ente liat aja ntar. Warnanya, bulunya, matanya.... Itu Poo banget. Gak ada yang mirip emaknya, keturunan kampung!" Wewww, temenku nepsong banget gara-gara tau, ternyata selama ini Poo punya banyak anak. Ada lima ekor yang baru ketahuan. Dugaan itu juga ditolak mentah-mentah sama Bu Lela. Malah aku sempat mengusulkan untuk tes DNA aja sekalian, hahaha, biar urusannya cepet the end gtu...

*****

"Hemmmmhhh... Ya sudah...." Bisikku. "Hanya Poo dan kucingnya Bu Lela yang tau."

Kuperhatikan sosok abu bermata biru itu dari sela teralis barunya.

Selesai.

Thanks for reading

aL@Sukabumi14092014
Read more...
 
Gang Kucing © 2017 - Design by AlLiana Nores